1 Oktober 2009
Tiga Serangkai Ulama Tanah Betawi
Dari abad ke abad, Kota Jakarta menggeliat dalam napas keislaman yang kental. Di tengah hiruk pikuknya Ibu Kota, ada sisi menarik yang patut disoroti di Kota Jakarta. Yaitu banyaknya majelis-majelis yang di dalamnya berisi tentang ajaran dan tradisi para alawiyin. Bahkan majelis-majelis tersebut sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Anehnya bertambah hari, jama’ah yang datang pun semakin meningkat, mereka sangat antusias hadir di tempat-tempat tersebut. Majelis tersebut merupakan embrio dari majelis-majelis yang dirintis oleh para habaib yang datang saat itu untuk menyebarkan Islam. Tak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Betawi merupakan masyarakat yang tingkat religiusnya sangat tinggi. Hal itu nampak dari kecintaan mereka terhadap para ulama, terutama ulama dari kalangan habaib.
Buku yang ada di tangan para pembaca sekalian adalah buku yang menjelaskan metode dakwah para Ulama Alawiyin yang datang ke Indonesia yang disertai komentar para ahli sejarah, baik sejarawan Arab, Barat hingga komentar Cendekiawan Indonesia sepanjang zaman, Buya Hamka, tentang dakwah kaum alawiyin. Intinya, buku ini menjelaskan bagaimana pengaruh para habib tersebut di Tanah Betawi, hingga biografi dan perjalanan dakwah tentang tiga Ulama Betawi yang memiliki pengaruh yang sangat besar bagi para masyarakat Betawi. Mereka adalah tiga serangkai ulama yang seiring sejalan dan selangkah dalam berdakwah. Mereka itu adalah: Al-Habib Ali Kwitang, Al-Habib Ali Bungur dan Al-Habib Salim bin Jindan. Mereka menjadi rujukan utama masyarakat Betawi saat itu. Hampir semua masyarakat Betawi kala itu berguru kepada mereka.
Mereka mengedepankan akhlak dan budi pekerti yang luhur, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Mereka sangat menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan ummat. Metode dakwah yang mereka usung adalah “Bil Hikmah Wal Mauidhatil Hasanah.” Mereka telah menyebarkan Agama Islam dengan damai dan lemah lembut, sehingga masyarakat Betawi kala itu dengan mudah dan lapang dada menerima apa-apa yang telah mereka ajarkan. Dalam berdakwah, mereka berlandaskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dakwah Islam di negeri ini pada umumnya dan di Tanah Betawi pada khususnya.
Buku yang sederhana ini juga dilengkapi galeri foto-foto tentang mereka. Tujuan penulisan buku ini bukanlah untuk berbangga-bangga dengan nasab atau pun mengkultuskan para alawiyin. Harapan saya, dengan terbitnya buku ini akan dapat memberikan sedikit pengetahuan dan informasi, sehingga kita dapat meneladani jejak langkah mereka dan semoga kita dapat memetik manfaat dari sekelumit biografi dan perjalanan mereka.
Label:
Resensi Buku
17 Habaib Berpengaruh di Indonesia
Masyarakat Islam Indonesia, khusunya kalangan pesantren sudah tidak asing lagi dengan sebutan habib atau habaib kepada keturunan Arab yang masih memiliki talian darah dengan Rasulullah. Sebutan habib merupakan sebuah gelar yang disematkan para pecinta sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam. Di beberapa negara, sebutan untuk dzurriyat rasul ini berbeda-beda. Di Maroko dan sekitarnya mereka lebih dikenal dengan sebutan syarif, di daerah Hijaz mereka lebih di kenal dengan sebutan sayyid, sedangkan di nusantara ini umumnya mereka dikenal dengan sebutan habib.
Pada sekitar abad 9 H sampai 14 H mulai membanjirnya hijrah kaum alawiyin keluar dari Hadramaut. Mereka menyebar ke seluruh belahan dunia hingga sampailah ke nusantara ini. Di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya Kerajaan Al-Aydrus di Surrat (India), Kesultanan Al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, Al-bin Syahab di Siak dan Kesultanan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama alawiyin pada masa itu adalah Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Shahibul Ratib). Sejarawan Hadramaut, Asy-Syeikh Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa alawiyin atau qabilah3 ba'alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika.
Kata alawiyin memiliki dua pengertian. Pengertian pertama ialah keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib, sedangkan pengertian kedua menunjukkan keturunan Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-'Uraidhi bin Jakfar Ash-Shadiq. Istillah alawiyin atau ba'alawi juga digunakan untuk membedakan keluarga ini dari keluarga para sayyid lainnya yang sama-sama keturunan Rasulullah salallahu 'alaihi wasalam.
Kemudian dalam perkembangannya sebutan 'alawi dinisbatkan kepada Al-Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir . Alwi adalah cucu pertama Al-Imam Ahmad Muhajir bin Isa yang lahir di Hadramaut dan pada masa itu beliaulah orang pertama yang diberi nama Alwi. Beliau wafat setelah abad ke-4 hijriah. Kepadanya kembali semua keturunan ba'alawi yang berasal dari Hadramaut .
Dalam buku “Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh”, Prof.Dr.Hamka menyebutkan bahwa gelar syarif khusus digunakan bagi keturunan Sayyidina Hasan dan Husein apabila menjadi raja. Banyak dari para sultan di Indonesia adalah keturunan Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam. Diantaranya Sultan di Pontianak mereka digelari syarif. Sultan Siak terakhir secara resmi digelari Sultan Sayyid Syarif Qasim bin Sayyid Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin. Demikian pula dengan pendiri Kota Jakarta yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, beliau digelari Syarif Hidayatullah.”
Kemudian Buya Hamka menjelaskan bahwa dalam sebuah hadis, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam bersabda yang artinya “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga” (seraya menunjuk kedua cucu beliau, Sayyidina Hasan dan Husein). Berlandaskan hadis tersebut, sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa setiap keturunan Sayyidina Hasan dan Husein digelari sayyid. Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah shallahu 'alaihi wasalam tidak memiliki keturunan dan mengatakan bahwa orang yang mengaku keturunan beliau adalah seorang yang berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang iri dan dengki.
Di Indonesia sendiri ada lembaga khusus yang mencatat nasab para alawiyin. Sehingga benar-benar gelar habib atau sayyid tidak disalahgunakan oleh seseorang. Lembaga tersebut lebih dikenal dengan nama Rabithah Alawiyah yang berpusat di Jakarta.
Buku ini merupakan kumpulan buku biografi singkat para auliya’ yang telah memperkenalkan, memperjuangkan serta memiliki kontribusi besar dalam dakwah Islam di nusantara ini. Seorang Orientalis Barat Snouck Hurgronje, menuliskan bahwa, “Banyak para ulama dari kaum alawiyin asal Hadramaut yang sangat berpengaruh dan menjadi pusat rujukan kaum muslimin di Indonesia. Mereka memiliki jasa besar dalam menorehkan jejak dakwah di seluruh pelosok negeri ini.”
“Para Sayyid asal Hadramaut memiliki peranan yang sangat besar dalam dakwah islamiyah di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Semua ahli sejarah telah menyebutkan betapa besarnya usaha dan peranan mereka. Hijrahnya mereka dari Hadramaut ke tempat yang jaraknya ribuan mil dengan menyeberangi lautan, tidaklah bertujuan kecuali untuk menyebarkan Islam. Dan mereka tidak sedikitpun mencari keuntungan materiil maupun moril”. Itulah yang dikatakan sejarawan Prancis Gustave Le Bon tentang peranan para habaib dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
Mereka berdakwah sesuai dengan caranya masing-masing. Meskipun cara dakwah mereka berbeda, namun mereka tetap berpegang teguh dalam satu ikatan akidah, yaitu ahlussunnah wal jama'ah. Mereka mewarisi sifat datuk mereka, Al-Imam Ali Zainal 'Abidin yang perilakunya agung dan sangat mulia. Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad telah menyifati mereka dalam untaian syairnya: “Mereka tetap dalam jejak Nabi (Muhammad) dan para sahabatnya, serta generasi sesudahnya. Maka tanyakan kepadanya dan ikuti jejak mereka. Mereka menelusuri jalan menuju kemuliaan dan ketinggian. Setapak demi setapak mereka telusuri dengan kegigihan dan kesungguhan”
Penulis mengkhususkan penulisan buku ini hanya pada 17 profil ulama bukan berarti mereka utama dari ulama yang lain, namun menimbang terbatasnya data yang ada maka diputuskan untuk mengangkat 17 ulama yaitu: Al-Habib Husein bin Abubakar Al-Aydrus Keramat Luar Batang, Jakarta, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas Pekalongan, Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Keramat Empang, Bogor, Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi Surabaya, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor Bondowoso, Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf Gresik, Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, Jakarta, Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad Bogor, Al-Habib Husein bin Muhammad bin Thohir Al-Haddad
Jombang, Al-Habib Jakfar bin Syaikhan Assegaf Pasuruan, Al-Habib Ali bin Husein Al-Attas Jakarta, Al-Habib Idrus bin Salim Al-Jufri Palu, Sulawesi Tengah, Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Darul Hadis, Malang, Al-Habib Muhammad bin Husein Al-Aydrus Surabaya, Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan Jakarta, Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid Tanggul, Jember, dan Prof. DR. As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Makkah, Saudi Arabia.
Label:
Resensi Buku
Langganan:
Postingan (Atom)